Rabu, 18 November 2015

KONSEP KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH REVISI
KONSEP KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Pai
Dosen Pengampu: Afiful Ikhwan M.Pd.I



 Kelompok 2 :
1.      Laili Rahmawati      (2014471978)
2.      Mir’atul Falah         (2014471981)
3.      Siti Kunjariah          (2014471986)
4.      M. Zuhal                   (2014471103)
Prodi : Pendidikan Agama Islam
SEMESTER III

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG

NOVEMBER 2015


KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan agama islam.
Kemudian dari pada itu kami mengucapkan terimaklasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah membantu demi terselesaikannya makalah ini, diantarannya:
1.             Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung Bapak Nurul Amin, M.Ag
2.             Dosen Prngampu Bapak Afiful Ikhwan, M.Pd.I
3.             Teman-teman mahasiswa dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini
Dalam penyususnan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan saran dan kritik positif yang bersifat membangun sehingga makalah ini bisa diperbaiki seperlunnya.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kelompok kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin Ya Robbal' Alamin.

Tulungagung, November 2015

penyusun


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR................................................................................... ..... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C.     Tujuan.............................................................................................     2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian kurikulum pendidikan islam......................................... .... 3
B.     Dasar-dasar kurikulum pendidikan islam....................................... .... 4
C.     Ciri-ciri kurikulum pendidikan islam.............................................. .... 5
D.    Prinsip dasar penyusunan kurikulum pendidikan islam.................. .... 6
E.     Pengembangan kurikulum pendidikan islam dari berbagai aspek.. .... 6
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan.......................................................................................... 8
2.      Saran............................................................................................... .... 8 
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 9







 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Setiap pendidik harus memahami perkembangan kurikulum, karena merupakan suatu formulasi pedagogis yang paling penting dalam konteks pendidikan, dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha yang dilakukan membantu siswa dalam mengembangkan potensinya berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial keagamaan dan lain sebagainya.
Dengan memahami kurikulum, para pendidik dapat memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, methode, tekhnik, media pengajaran, dan alat evaluasi pengajaran yang sesuai dan tepat. Untuk itu, dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan sistem pendidikan ditentukan oleh semua pihak, sarana dan organisasi yang baik, intensitas pekerjaan yang realistis tinggi dan kurikulum yang tepat guna. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para pendidik dan tenaga kependidikan bidang pendidikan Islam memahami kurikulum serta berusaha mengembangkannya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian kurikulum pendidikan islam ?
2.    Apa dasar-dasar kurikulum pendidikan islam ?
3.    Bagaimana ciri-ciri kurikulum pendidikan iskam?
4.    Apa prinsip dasar penyusunan kurikulum pendidikan islam?
5.    Bagaimana pengembangan kurikulum pendidikan islam dari berbagai aspek?

C.      Tujuan
1.        Untuk mengetahui pengertian kurikulum pendidikan islam.
2.        Untuk mengetahui  dasar-dasar kurikulum pendidikan islam.
3.        Untuk mengetahui ciri-ciri kurikulum pendidikan islam.
4.        Untuk mengetahui prinsip dasar penyusunan kurikulum pendidikan islam.
5.        Untuk mengetahui  pengembangan kurikulum pendidikan islam dari berbagai aspek.

















BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian kurikulum pendidikan islam
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, akan tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna – baik sebagai khalifah maupun ‘abd   melalu transformasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam. Disinilah filsafat pendidikan Islam dalam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat pengetahuan, ketrampilanm dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan manusia paripurna ( al- insan al-kamil).[1]

B.       Dasar-dasar kurikulum pendidikan islam
1.    Dasar Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti ijmaqiyas danihtisan.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
2.    Dasar  Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
3.    Dasar  Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
4.    Dasar  Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.[2]

C.      Ciri-ciri kurikulum pendidikan islam
1.       Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan kandungan-kandungan, metode-metode, alat-alat dan tekniknya bercorak agama.
2.      Cakupannya luas dan menyeluruh kandungannya, yaitu kurikulum yang benar-benar mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran yang menyeluruh. Di samping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial, dan spiritual.
3.      Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan pengembangan sosial.
4.      Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh anak didik.
5.       Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik.[3]







D.      Prinsip-prinsip dasar penyusunan kurikulum pendidikan islam
Tentang prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar penyusunan kurikulum pendidikan Islam, diantaranya:
1.      Prinsip relevansi
adalah adanya kesesuaian pendidikan dengan lingkungan hidup murid, relevansi dengan kehidupan masa sekarang dan akan datang, dan relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
2.      Prinsip efektifitas
adalah agar kurikulum dapat menunjang efektifitas guru yang mengajar dan peserta didik yang belajar.
3.      Prinsip efisiensi
adalah agar kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, dana, dan sumber lain secara cermat, tepat, memadai dan dapat memenuhi harapan.
Prinsip kesinambungan
adalah saling hubungan dan jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan.
4.      Prinsip fleksibilitas
artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan di dalam bertindak yang meliputi fleksibilitas dalam memilih program pendidikan, mengembangkan program pengajaran, serta tahap-tahap pengembangan kurikulum.
5.      Prinsip integritas
antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktivitas yang terkandung di dalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid dan masyarakat.[4]

E.  Pengembangan kurikulum dari berbagai aspek
1.      Aspek Materi
Diantara prinsip pengembangan kurikulum ada prinsip relevansi yang ahrus menjadi pertimbangan bagi penentuan suatu materi. Agar materi yang diberikan bermanfaat bagi kehidupan anak didik, hendaknya materi tersebut harus sesuai dengan tuntutan zaman, kesempurnaan jiwa anak didik tanpa melupakan esensi ajaran Islam itu sendiri.
2.      Aspek Tujuan
Dalam prinsip pengembangan kurikulum hal ini sangat berkaitan dengan prinsip efektifitas. Dengan semakin banyaknya tujuan yang harus dicapai, akan mendorong efektifitas proses yang akan dilaksanakan. Sebagai suatu rancangan, tentu ada rencana yang dapat tercapai. Dan sebaiknya tujuan yang akan dicapai harus jelas dan memang benar-benar sesuai dengan segala komponen yang berpengaruh terhadap pendidikan itu sendiri. Jangan sampai apa yang diajarkan dan proses pelaksanaannya sangat berbeda dengan tujuan yang diharapkan.
3.       Aspek Lembaga
Banyak orang beranggapan bahwa mengelola lembaga pendidikan agama tidak perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus. Karena out-put-nya kurang dapat diandalkan untuk berkompetensi dalam masyarakat jika dibanding out-put lembaga pendidikan lain. Secara administratif, lembaga pendidikan Islam yang benar-benar menerapkan manajemen pendidikan dengan baik sangat jarang sekali. Salah satu hal yang sangat berkaitan dengan lembaga pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadi salah satu sarana seorang anak dapat memperoleh pendidikan dengan baik.[5]




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap mental.
2.    Dasar-dasar kurikulum pendidikan islam meliputi dasar agama, dasar falsafah, dasar psikologis, dan dasar sosial.
3.    Ciri-ciri kurikulum pendidikan islam diantaranya yaitu Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan kandungan-kandungan, metode-metode, alat-alat dan tekniknya bercorak agama.
4.    Prinsip-prinsip dasar penyusunan kurikulum pendidikan islam meliputi prinsip relevansi, prinsip efektivitas, prinsip efesiensi, prinsip kesinambungan, prinsip fleksibilitas, dan prinsip integritas.
5.    Pengembangan kurikulum pendidikan islam itu terdiri atas aspek materi, aspek tujuan, dan aspek lembaga.

B.       Saran
Setelah mempelajari tinjauan tentang kurikulum pendidikan islam kita sebagai calon pendidikan di harapkan mampu menerapkan kurikulum pendidikan islam itu sesuai dengan aturan yang telah di tentukan kepada peserta didik.







DAFTAR PUSTAKA



Daradjat, Zakiyah, dkk. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara)
Nasution, S. 1994. Asas-asas Kurikulum. (Jakarta: Bumi Aksara)
Arief, Armai.2002.  Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pers)

[1] Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet.ke-3 hlm. 153

[2] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara,1994) hlm. 134
[3] Ibid hlm 138
[4] S. Nasution,  Asas-asas Kurikulum..................hlm 136
[5] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 145

Jumat, 05 Juni 2015

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Mir'atul Falah: Muthlaq dan Muqayyad



MUTLAQ DAN MUQOYYAD


Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Ulumul Qur’an


Dosen Pengampu
Afiful Ikhwan, M.Pd.I





 









Disusun Oleh:
Kelompok 10
Khoirul Khobir
M. As’od Arifin
Mir’atul Falah
Dwi Wulandari

SEMESTER : II

PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN : TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM) TULUNGAGUNG
Juni 2015 








 
KATA PENGANTAR



Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah- Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul   Mutlaq dan Muqayyad”sebagai tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang benar, yaitu Dienul Islam.
Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada :
1.      Yang terhormat Nurul Amin, M.Ag, selaku Ketua STAIM Tulungagung.
2.      Yang Terhormat , Afiful Ikhwan, M.Pd.I, selaku dosen Pengampu.
3.      Kedua orang tua penulis, yang telah membesarkan dan membimbing kami serta memberikan bantuan moril maupun materiil.
4.      Semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini.
Dalam menyusun makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karenanya kritik dan saran para audiens sangat kami harapkan demi perbaikan dan pengembangan makalah ini.
Selanjutnya semoga dalam penyusunan dan penyajian dari makalah ini  dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan audiens umumnya. 
Amiin Ya Robbal ‘A- lamiin.



Tulungagung, 3 Juni 2015    



                                                                                     Penyusun









 


ii
 
 


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL …………………………………................…….……..  i
KATA PENGANTAR ………………………………….................…………...  ii
DAFTAR ISI  ………………………………………..……..………….....  iii
BAB I   PENDAHULUAN
Latar Belakang  ……………………….………............……...……… 1
  1. Rumusan Masalah ……………….........................…………….……….. 1
  2. Tujuan Pembahasan …………………….........…………………...……. 1
BAB II   PEMBAHASAN  
A.    Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad beserta Macamnya ........... 2
B.     Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambiln Hukum  ............. 7
BAB III   PENUTUP  ………………………………......……..................…..   11
DAFTAR  PUSTAKA  






 
                                                                            BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
             Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk sekaligus penyelamat umat manusia. Oleh karena itu al-Qur’an senantiasa kaya akan makna. Sehingga dalam memahami al-Qur’an juga diperlukan ilmu-ilmu perantara, seperti yang dibahas dalam “Ulumu al-Qur’an.”
             Sehingga dalam menafsirkan Al-Qur‟an, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Qur’an yang digunakan untuk menentukan suatu hukum ada empat, yaitu mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang “Muthlaq dan Muqayyad.”






B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
1.      Bagaimanakah Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad beserta Macamnya itu ?
2.      Bagaimanakah Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambiln Hukum itu ?

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad beserta Macamnya
2.      Untuk mengetahui Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambiln Hukum









 
                                                                           BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad Dan Macamnya
1.    Muthlaq
Muthlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu.[1] Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya.
Senada dengan pendapat tersebut, al-Khudhori Biek mengatakan, bahwa muthlaq adalah:[2]
 اَلْمُطْلَقُ مَا دَلَّ عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ مُسْتَقِــلٍّ لَفْــــــظاً
 Artinya: “Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.”
           
            Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.
Sedangkan contoh lafal muthlaq dalam al-Qur’an dapat dilihat dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah ayat 3 sebagai berikut:
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÌÈ  

 
Artinya: orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadilah: 3)

Ayat ini menjelaskan tentang kafarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula dengan pemakaian kata raqabah pada ayat di atas sebagai bentuk nakirah dalam konteks positif.
Sedangkan contoh ayat yang menunjukkan lafal muthlaq adalah surat al-Baqarah ayat 234 sebagai berikut:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  

Artinya:  Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[3] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah:234)

Lafal azwajan (isteri-isteri) dalam ayat di atas merupakan lafal mutlaq. Oleh sebab itu, tidak dibedakan apakah wanita itu digauli atau belum digauli oleh suaminya. Maka apabila suaminya meninggal iddah wanita tersebut adalah sama yaitu empat bulan sepuluh hari.
Jika dilihat secara sepintas lafal mutlaq mirip dengan lafal ‘aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafal ‘amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafal mutlaq bersifat badali (mengingatkan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafal ini dapat diamati dari firman Allah pada ayat berikut ini.
a.       Firman Allah dalam surat Hud ayat 11

 $tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètƒur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyŠöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ  
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata[4]pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[5], semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud:6)

b.      Surat al-Baqarah ayat 67
øŒÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏ­Gs?r& #Yrâèd ( tA$s% èŒqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ  

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"[6]  Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".(QS.al-Baqarah: 67)
            Dalam ayat tersebut dapat diketahui bahwa kata baqarah pada ayat di atas merupakan lafal mutlaq yang bersifat umum sekaligus bersifat badaliy. Keumuman lafal mutlaq ini meliputi bermacam-macam afrad. Apabila lafal mutlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya sebagai cakupan dari lafal mutlaq tersebut, tidak berkaku lagi.

2.      Muqayyad
            Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat,[7] atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i seperti dikutip oleh Muhlish Usman,[8] muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah.[9]   
Sedangkan pengggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 92 berikut ini.

$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& H
Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman... (QS. An-Nisa’ :92)

Kata raqabah dalam ayat tersebut memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.

Sedangkan contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah ayat 89 berikut ini.
Ÿw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ  

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al-Maidah : 89)

Ayat tersebut menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid daam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah ayat 187 berikut ini.
( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4
Artinya : ... Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. al-Baqarah:187)

Dalam ayat tersebut terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
Dengan demikian, berdasarkan dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara muthlaq dengan muqayyad, adalah bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadilah ayat 3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin.
Sementara muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan kepada hakikat sesuatu, tetapi dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya.

B.       Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambilan Hukum
            Menurut Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Sapiudin Shidiq,[10]  menjelaskan             kaidah-kaidah yang berkaitan dengan muthlaq dan Muqoyyad  sebagaimana berikut:
1.    Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya adalah sebagai berikut:

اَلْمُـطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
 Artinya: “Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang membatasinya.”
Contonya adalah surat an-Nisa’ ayat 23 berikut ini:
...وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ…
 artinya:“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”
            Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat atau membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya atau belum.
2.    Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mutlaq-kan. Kaidahnya:
 اَلْمُـقَــَّيدُ باَقِىٌ عَلَى تَقْيِــيْدِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
 Artinya: “Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan kemutlakannya.”
3.    Hukum mut}laq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya adalah:
 اَلْمُـطْلَقُ لاَ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
 Artinya: Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan mut}laq karena telah ada batasan yang membatasinya.”
 Contoh: (QS. Al-Nisa’ ayat 11:

…مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي...
Artinya:…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”
4.    Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia menjadi mutlaq. Kaidahnya adalah:
 اَلْمُـقَــَّيدُ لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِــيْدِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Artinya: “Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlaqannya.
 Contoh: QS. Al-Nisa’ : 23
ãNà6ç6Í´¯»t/uur... ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ..........
Artinya: “…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…”

            Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja, karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali.[11] 
            Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Sehingga yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima jenis, yaitu ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan.
            Sedangkan yang disepakati oleh para Ulama ialah:
a.       Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.      Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c.       Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, sehingga masing-masing tetap berlaku pada kemuthlakannya dan kemuqayyadannya.








 
                                                                          BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.         Muthlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya.  Senada dengan pendapat tersebut, al-Khudhori Biek mengatakan, bahwa muthlaq adalah:
 اَلْمُطْلَقُ مَا دَلَّ عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ مُسْتَقِــلٍّ لَفْــــــظاً
Artinya: “Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.”

Sedangkan secara sederhana, muqoyyad berarti terikat, atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i seperti dikutip oleh Muhlish Usman, muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah.  
2. Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Sehingga yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima jenis, yaitu ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan.

            Sedangkan yang disepakati oleh para Ulama ialah:
a.       Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.       Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c.       Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, sehingga masing-masing tetap berlaku pada kemuthlakannya dan kemuqayyadannya.

B.   Kritik dan Saran
           Pembahasan tentang Muthlaq dan Muqayyad dalam makalah ini masih terlalu singkat, karena sebenarnya masih banyak pendapat maupun penjelasan dari para Ulama yang belum terangkat pada pembahasan topik ini. Oleh karena itu bagi para pembaca yang ingin mengkaji terkait dengan topik Ulumul Qur’an, yaitu Muthlaq dan Muqayyad dipersilahkan untuk mengkaji pada refrensi yang lebih komprehensif.











 
DAFTAR PUSTAKA


Manna’ Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, Pustaka Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah,1982
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,
Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh ,Jakarta: Kencana, 2011




















[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 862.
[2] Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,1982), 239.
[3] Maksudnya berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
[4] Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.
[5] Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim. 
[6] Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa penghormatan mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah.
[7] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206.
[8] Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57.
[9] Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh ,(Jakarta: Kencana, 2011), 187
[10] Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 186-192
[11] Shidiq, Ushul Fiqh..., 189.